26 April 2009

Tiga Keraton Cirebon, Sebuah Porselen Retak

Tiga Keraton Cirebon, Sebuah Porselen Retak



Pengantar:

Libur Lebaran lumayan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu selama itu untuk berdiam diri di rumah,

kami pun merencanakan perjalanan ke salah satu kota di pulau Jawa. Cirebon, itu pilihan kami. Kota ini

menjadi kota transit bagi para pemudik yang ingin bersilaturahmi ke kampung halaman di wilayah Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Namun, bukan itu alasan kami memilih kota ini sebagai tujuan perjalanan. Kota yang

terletak di jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan-peninggalan

fisik sejarah masa lalu.
Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau

persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang

berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan

terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan

disebut Cirebon—atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil).

Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.
Pengalaman perjalanan tim ”SH”—yang terdiri dari Bayu Dwi Mardana, Desman, Ida Rosdalina, Job Palar—ke

kota rebon ini terangkum dalam tiga halaman berikut.

CIREBON — Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu

saja mentok karena tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton

Kanoman pada tahun 1803.

Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda

diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan

penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.
Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti

seluruh pejabat Belanda di negeri ini.
Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang

selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa

sesungguhnya” tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik

putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.
Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan

mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan

Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun

menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu

”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan

makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.
Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa,

maka rakyat akan merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.
Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan

menghadapi perlawanan ”para pemberontak”.
Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja

Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1

Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.
Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran

Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan.

Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan,

Kanoman, dan Kacirebonan.
Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan

Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini sehingga

kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di

Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.
Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi

perjuangan yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji

dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka. Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus

tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain,

Kasepuhan dan Kanoman.

Suram
Gengsi yang hilang ini pun berbekas sampai saat ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan

Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan

terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi

bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara.

Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat

rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu

Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias

dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di

seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada

agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat.

Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian

ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang

terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas

kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih

terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan

tertutup semak-semak.

Kasepuhan
Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun,

kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah

keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton

terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon,

Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati

terletak di belakang Keraton Kasepuhan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu

berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini

tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal

juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.

Kanoman
Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna

”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping

untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh

kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan

harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai

penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di

Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat

usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi

dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat

kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya

sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi

Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga

Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang

sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.

Keramik Cina
Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk

menguji kesaktian san sunan. Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang

populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang putri hamil, padahal perut

sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil.
Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar

pengantin datang dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas

Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas, kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan

Cina. Makam Putri Ong Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid

agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di

setiap bangunan bersejarah. (*)


sumber http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/1201/wis02.html

Comments :

0 komentar to “Tiga Keraton Cirebon, Sebuah Porselen Retak”


Posting Komentar

Silakan Tinggalkan Komentar anda